Sunday, July 31, 2016

Ombak, Pasir, dan Lubang HItam Itu

Saat ini aku hanya bisa berdiri menatap waktu yang baru saja melewati diriku seperti terpaan ombak yang kencang. Jiwa dan ragaku basah, tulang-tulangku terasa sakit. Mungkin... itu terjadi karena terpaan ombak itu terlalu kuat dan kencang. Membuatku hanya bisa bertumpu pada lutut dan jemariku, seakan seluruh tenagaku ikut tersapu ketika ombak itu melaluiku.

Bayangan akan lubang hitam itu kembali muncul. Lubang hitam yang hanya berjarak sekian meter dari tempatku berada. Lubang hitam yang seperti menjadi hidup ketika aku menengokkan kepalaku ke belakang. Pikiran akan kembali ke dalam lubang hitam itu membuatku takut. Apakah aku akan terseret kembali masuk ke dalam lubang hitam itu oleh sang ombak?

Seakan takut akan bayangan sang ombak, jemari-jemariku menancap dengan tajam kepada pasir-pasir putih yang berada di bawah genggamanku. Berpegangan dan bergantung kepada pasir itu serta berharap agar tidak berpindah dari tempatku saat ini. Tapi aku tau, sekuat apapun aku menggenggam pasir tersebut, sedalam apapun itu, aku tau aku tidak akan mampu menahan terjangan ombak itu. Ombak yang akan menyeretku sedikit demi sedikit untuk semakin mendekati lubang itu… lubang yang aku tidak pernah ingin lihat, tengok, atau kembali ke sana

Mungkin aku bersyukur bahwa ombak itu tidak berhasil menyeretku masuk hari ini. Tapi aku tidak tau kapan ombak tersebut kembali berusaha untuk menyeretku. Kapan dan bagaimana, aku hanya bisa menunggu. Mungkin sedikit berharap jika masih ada harapan agar ombak tersebut tidak lagi berdebur dengan kencang. Mungkin saja aku harus mulai meninggalkan pasir itu. Berhenti dan mulai berlari untuk mencari tempat yang lebih aman dan menjauhi semuanya. Menjauhi ombak, pasir, hingga lubang hitam itu.

Tapi aku tau, aku akan sulit untuk melakukannya. Pasir yang ada dibawahku, pasir putih yang kini aku genggam dengan kuat, adalah hal yang turut serta untuk membantuku keluar dari lubang itu. Adalah hal yang menghiburku dengan berada di antara jemariku. Adalah hal yang menemaniku pada masa-masa bebasku. Adalah hal yang tanpa aku sadari, aku sangat bergantung akan kehadirannya.

Thursday, December 31, 2015

Penyesalan itu

Sebuah penyesalan itu datang selalu terlambat. terlambat untuk menghampiri dia yang merasa membuat kesalahan, dia yang merasa dirinya sia-sia, dan dia yang entah karena alasan apa yang kerap dihantui rasa penyesalan yang menempel bagaikan plak di masa depannya.

Bagaikan virus, penyesalah akan terus menggerogoti jiwa sedikit demi sedikit, mengoyak organ-organ didalamnya seperti harimau mengoyak mangsanya. menggores setiap guratan-guratan otot hingga yang terlihat hanyalah tulang putih yang tak bernyawa. teronggok, menunggu untuk dilupakan.

Apakah penyesalan itu membuatmu merasa tidak bernyawa? membuatmu merasa menjadi raga yang tak bertuan. merasa bimbang akan setiap langkah yang harus dilakukan, membuatmu seperti sebuah orkestra yang tidak memiliki kondaktur didalamnya? Apakah sebesar itu pengaruh sebuah penyesalan dalam diri manusia?

Ya. sebagai seseorang yang sudah bersahabat karib dengan penyesalan, aku dapat menjawab pertanyaan di atas dengan lantang. Apa lagi yang ingin kau tanyakan kepada aku, seorang manusia, yang mengubur beribu penyesalan di dalam setiap rongga kehidupanku? Aku tentu akan dapat menjawab semuanya dan menjadikannya sebuah narasi yang apik, yang membuatmu seperti mendengarkan sebuah dongeng kerajaan yang kamu sukai dimasa kecilmu.

Tapi…. bukan berarti aku tidak pernah takut dengan rasa penyesalan yang selalu datang disetiap detik aku bernafas. Setiap saat lubang hidungku menghirup Oksigen bercampur polusi dari udara tempatku berpijak, rasa penyesalan itu, rasa penyesalan yang sudah aku anggap sebagai sahabat karibku, seperti tersedot masuk ke dalam saluran pernafasanku. Membuatku tersedak, dan lupa cara bernafas selama sekian detik.

Keringat dingin sebesar jagung itu tetap ada. tetap mendesak keluar dari lubang pori-pori kulitku yang berwarna kecoklatan. Jantung, penopang utama di dalam tubuhku, membunyikan genderangnya dan memukulnya hingga membuat rongga dadaku terasa sakit dan sesak. Otakku, komandor terbesar yang mengendalikan semuanya, selalu memutarkan sebuah film masa laluku, terus menerus seperti CD rusak. Mesin - mesin tubuhku seperti tidak mau berhenti untuk terus mengingatkanku bahwa penyesalan bukanlah sahabat karibku, dan selamanya tidak akan pernah bisa menjadi seperti itu


Mungkin…. jika aku mengakhir semuanya, dan benar-benar tenggelam di dalam penyesalan itu, menghentikan semua mesin-mesin yang ada diriku, mungkin….. hanya mungkin…. aku baru benar-benar bisa bersahabat karib dengan penyesalan itu. Atau mungkin bahkan bisa bebas dalam jeratannya?